Hijrah Dan Semangat Perdamaian
TAHUN ini kita memasuki tahun baru Islam 1441 Hijriyah. Moment
Pergantian tahun ini di mulai sekitar 14 abad yang lalu ketika nabi
Muhammad SAW hijrah dari Mekah ke Madinah, peristiwa hijrah nabi inilah
yang menandai pergantian tahun yang dikenal dengan sebutan tahun
Hijriyah ini.
Banyak pelajaran yang terkandung dalam peristiwa hijrahnya Muhammad, hijrah dimaknai sebagai perjuangan untuk lepas dari segala ketertindasan, kezaliman atas perilaku kaum Quraish yang memusuhi dan menindas nabi dan umat Islam.
Hijrah juga bermakna upaya untuk membangun peradaban kembali, peradaban Islam yang menebar perdamiaan, kebaikan dan terlepas dari keterpurukan di Madinah al Munawaroh.
Hijrah merupakan pilihan untuk menciptakan perdamaian di tempat yang baru dan menghindari peperangan. Perang, pada hakikatnya merupakan tanda bahwa dua pihak gagal membangun komunikasi damai untuk saling bernegoisasi dan hidup berdampingan. Sedangkan, Rasulullah Saw. selalu berusaha menghindari peperangan.
Dalam sejarahnya, Rasulullah SAW berperang dalam rangka mempertahankan diri dan melawan dari kezaliman penguasa untuk kejayaan dan kemuliaan Islam.
Hijrah sepatutnya menghadirkan perdamaian, dan bukan menyulut spirit konflik peperangan yang justru akan merusak tatanan kemanusiaan. Ketika propaganda hasutan terus disebarluaskan, maka kita pun harus tegar menyuarakan makna hijrah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Hijrahnya Rasulullah SAW bersama para sahabat ke Madinah, memiliki dimensi historis dan spiritual yang mendalam. Memilih Madinah sebagai kawasan untuk berhijrah, tentu bukan pilihan yang didasarkan pada pertimbangan ambisi sesaat.
Di Mekkah, Rasulullah SAW mendapat kebencian bertubi-tubi. Bahkan, umat Islam pun mendapat tekanan dan ancaman serta tindak kekerasan. Demi menghindari peperangan di Mekkah, maka Rasulullah SAW berhijrah.
Kata hijrah di dalam Al Qur’an biasa didampingi oleh kata Iman dan Jihad. Makna yang terkandung adalah, pilihan berhijrah itu landasannya adalah keimanan. Rasulullah Saw. berhijrah dalam rangka melaksanakan perintah Allah SWT untuk berjihad di dalamnya, agar agama Islam dapat mencapai tingkat kesempuranaan dan kemuliaan. Untuk berhijrah, memang tidak mudah.
Rasulullah SAW dan orang-orang beriman harus meninggalkan harta, bahkan keluarga (yang belum memeluk Islam). Jika tidak dilandasi keimanan sudah pasti ajakan hijrah tidak akan diikuti oleh para sahabat.
Pengorbanan para sahabat berbuah manis. Masyarakat Madinah yang juga populer disebut sebagai kaum Anshar begitu antusias menyambut kehadiran Rasulullah SAW dan para sahabat. Hijrah, dengan demikian telah menambah persaudaraan dan menghadirkan suasana damai.
Rasulullah Saw. pun membangun dasar-dasar masyarakat madani bersama para sahabat, di Kota Madinah Al Munawwarah. Keberhasilan membangun masyarakat madani, tak lepas dari suasana damai yang diciptakan oleh kaum muhajirin dan kaum anshar. Dan meski ada rindu terhadap tanah kelahiran, Rasulullah SAW dan para sahabat bersyukur dapat menjalin perdamaian di Madinah, sekaligus menghindari peperangan di Mekkah.
Dalam konteks sekarang ini, pemaknaan hijrah tentu bukan selalu harus identik dengan meninggalkan kampung halaman seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. dan kaum Muhajirin, tetapi pemaknaan hijrah lebih kepada nilai-nilai dan semangat berhijrah itu sendiri, karena hijrah dalam arti seperti ini tidak akan pernah berhenti.
Dalam bahasa yang lebih mudah, hijrah bisa dirangkai ke dalam sebuah idiom minadz dzulumati ilannur, yakni dari kegelapan menuju keadaan yang terang benderang.
Begitu pula dengan misi mulia Nabi Muhammad SAW diutus di muka bumi ini tak lain untuk membimbing umat manusia dari akhlak buruk menuju perbaikan peradaban kemuliaan. Hijrah lebih dimaknai sebagai peralihan dari moralitas yang buruk menuju al-akhlak al-karimah (budi pekerti yang luhur), insan kamil.
Dalam proses hijrahnya, Nabi SAW mengubah nama kota Yatsrib menjadi Madinat Ar-Rasul yang bermakna Kota Rasulullah”.
Perubahan nama kota itu tidak semata bersifat formalistas semata, melainkan sebuah penegasan untuk mewujudkan sebuah sistem masyarakat yang beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian.
Bersama umat agama lain dan suku-suku Arab di Madinah, Nabi membuat konsensus bersama bernama Piagam Madinah (Mitsaq Al-Madinah) untuk menegaskan persamaan kemanusiaan, menghargai perbedaan dan menebar perdamaian.
Itulah misi hijrah yang ditekankan Nabi, yaitu mengubah suatu struktur tatanan masyarakat yang tidak adil dan otoriter (jahiliyah), menuju kesepakatan bersama dan demokratis (islamiyah). Nabi juga merombak sistem perekonomian yang timpang dikuasasi oleh segelintir orang (konglomerat) menuju perekonomian yang berpihak pada ummat yakni, ekonomi keummatan.
Yang tak kalah penting, Nabi membangun masyarakat madani yang amat menghargai perbedaan di kalangan masyarakat Arab.
Dalam konteks apa pun, hikmah dan spirit hijrah Nabi itu sesungguhnya bisa kita terapkan kapan pun dan di mana pun.
Dalam konteks pribadi misalnya, hijrah bisa digunakan sebagai arahan untuk memperbaiki diri dari segala sikap dan perilaku yang selama ini keliru untuk menjadi individu yang memperbaiki diri dan membawa manfaat. Yang pada gilirannya tentu akan berdampak pada tatanan masyarakat.
Hijrah yang dilakukan untuk koteks sekarang adalah bagaimana membangun semangat hal positif di masyarakat. Dari saling curiga akibat perbedaan pandangan politik menjadi saling percaya dan membangun kerjasama.
Bahkan bulan Muharam adalah salah satu bulan dari empat bulan haram (Zdulqa’dah, Dzulhijjah, Muaharam dan Rajab) bulan dilarang melakukan peperangan. Maka di bulan Muharam hendaknya kita semua menyebarluaskan semangat perdamaian. Tidak ada lagi penindasan terhadap etnis lain, seperti di Myanmar.
Tidak ada ruang untuk saling menyebar fitnah kepada lawan politik hanya untuk meraih kekuasaan dan memenangi persaingan Pilkada. Semangat persaudaraan sebangsa juga sangat dibutuhkan guna membangun Indonesia yang memang ditakdirkan Allah mempunyai beragam etnis, agama, suku dan ras.
Hal ini bukan berarti menjadi sumber perpecahan tetapi ini harus dijadikan sumber berkah agar kita semua bisa saling mengenal (ta’arofu). Seperti pesan firman Allah dalam surat Al Hujarat (49) ayat 13, Wahai manusia sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu beerbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di anatara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”.
Konsep hijrah Nabi Muhammad SAWdi masa lalu sesungguhnya mengandung ibrah (pelajaran berharga) bahwa selayaknya kita memaknai hijrah dalam bingkai perdamaian. Ajaran-ajaran Islam harus kita maknai sebagai ajaran yang transformatif sehingga kita terus mengupayakan perdamaian terwujud dalam kehidupan.
Semangat hijrah selayaknya membuat pribadi-pribadi dapat menghindari perilaku buruk jahiliyah, semisal menebar kebencian kepada pihak lain.
Kejadian di Surabaya yang berimbas ke Papua, adalah kekurangpahaman esensi hijrah. Bagaimana seharusnya penduduk asli dapat berdampingan dengan pendatang seperti kaum Anshar dan Muhajirin.
Konteks jaman serba digital, maka sepatutnya menggunakan perubahan teknologi dan perkembangan penyebaran informasi disikapi dengan bijak. Informasi yang didapat disaring dengan rasional. Berita hoax di-tabayun-kan seperti yang diteladankan Rasul. (Q.S. Al Hujurat: 6)
Jika mendamaikan orang yang berselisih karena penyebaran informasi hoax merupakan bentuk dari sedekah, maka seharusnya hal tersebut menjadi spirit pada diri kita untuk berlomba-lomba menjadi pelopor untuk mendamaikan dengan menyebarkan informasi yang menyejukan susana.
Damai tidak hanya terbatas pada seruan formal birokratis. Di era Modern saat ini, damai sudah sepatutnya menjadi lifestyle dan kebutuhan hidup sehari-hari.
Dengan gaya hidup ini, niscaya kita akan merasakan betapa nikmat kehiduan jika dipenuhi dengan semangat kebersamaan, persaudaraan, kedamaian. Energi yang terpancar adalah saling menghargai, membantu dan menebar kasih sayang terhadap sesama.
Karenanya, Sebaik-baiknya hijrah adalah menebarkan perdamaian. Wa allahu a’lam. [***]
http://www.rmolbanten.com/read/2019/08/26/10956/Hijrah-Dan-Semangat-Perdamaian-
Dedi Sutendi, S.Th.I
Lembaga Kajian Syahmi Center
Banyak pelajaran yang terkandung dalam peristiwa hijrahnya Muhammad, hijrah dimaknai sebagai perjuangan untuk lepas dari segala ketertindasan, kezaliman atas perilaku kaum Quraish yang memusuhi dan menindas nabi dan umat Islam.
Hijrah juga bermakna upaya untuk membangun peradaban kembali, peradaban Islam yang menebar perdamiaan, kebaikan dan terlepas dari keterpurukan di Madinah al Munawaroh.
Hijrah merupakan pilihan untuk menciptakan perdamaian di tempat yang baru dan menghindari peperangan. Perang, pada hakikatnya merupakan tanda bahwa dua pihak gagal membangun komunikasi damai untuk saling bernegoisasi dan hidup berdampingan. Sedangkan, Rasulullah Saw. selalu berusaha menghindari peperangan.
Dalam sejarahnya, Rasulullah SAW berperang dalam rangka mempertahankan diri dan melawan dari kezaliman penguasa untuk kejayaan dan kemuliaan Islam.
Hijrah sepatutnya menghadirkan perdamaian, dan bukan menyulut spirit konflik peperangan yang justru akan merusak tatanan kemanusiaan. Ketika propaganda hasutan terus disebarluaskan, maka kita pun harus tegar menyuarakan makna hijrah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Hijrahnya Rasulullah SAW bersama para sahabat ke Madinah, memiliki dimensi historis dan spiritual yang mendalam. Memilih Madinah sebagai kawasan untuk berhijrah, tentu bukan pilihan yang didasarkan pada pertimbangan ambisi sesaat.
Di Mekkah, Rasulullah SAW mendapat kebencian bertubi-tubi. Bahkan, umat Islam pun mendapat tekanan dan ancaman serta tindak kekerasan. Demi menghindari peperangan di Mekkah, maka Rasulullah SAW berhijrah.
Kata hijrah di dalam Al Qur’an biasa didampingi oleh kata Iman dan Jihad. Makna yang terkandung adalah, pilihan berhijrah itu landasannya adalah keimanan. Rasulullah Saw. berhijrah dalam rangka melaksanakan perintah Allah SWT untuk berjihad di dalamnya, agar agama Islam dapat mencapai tingkat kesempuranaan dan kemuliaan. Untuk berhijrah, memang tidak mudah.
Rasulullah SAW dan orang-orang beriman harus meninggalkan harta, bahkan keluarga (yang belum memeluk Islam). Jika tidak dilandasi keimanan sudah pasti ajakan hijrah tidak akan diikuti oleh para sahabat.
Pengorbanan para sahabat berbuah manis. Masyarakat Madinah yang juga populer disebut sebagai kaum Anshar begitu antusias menyambut kehadiran Rasulullah SAW dan para sahabat. Hijrah, dengan demikian telah menambah persaudaraan dan menghadirkan suasana damai.
Rasulullah Saw. pun membangun dasar-dasar masyarakat madani bersama para sahabat, di Kota Madinah Al Munawwarah. Keberhasilan membangun masyarakat madani, tak lepas dari suasana damai yang diciptakan oleh kaum muhajirin dan kaum anshar. Dan meski ada rindu terhadap tanah kelahiran, Rasulullah SAW dan para sahabat bersyukur dapat menjalin perdamaian di Madinah, sekaligus menghindari peperangan di Mekkah.
Dalam konteks sekarang ini, pemaknaan hijrah tentu bukan selalu harus identik dengan meninggalkan kampung halaman seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. dan kaum Muhajirin, tetapi pemaknaan hijrah lebih kepada nilai-nilai dan semangat berhijrah itu sendiri, karena hijrah dalam arti seperti ini tidak akan pernah berhenti.
Dalam bahasa yang lebih mudah, hijrah bisa dirangkai ke dalam sebuah idiom minadz dzulumati ilannur, yakni dari kegelapan menuju keadaan yang terang benderang.
Begitu pula dengan misi mulia Nabi Muhammad SAW diutus di muka bumi ini tak lain untuk membimbing umat manusia dari akhlak buruk menuju perbaikan peradaban kemuliaan. Hijrah lebih dimaknai sebagai peralihan dari moralitas yang buruk menuju al-akhlak al-karimah (budi pekerti yang luhur), insan kamil.
Dalam proses hijrahnya, Nabi SAW mengubah nama kota Yatsrib menjadi Madinat Ar-Rasul yang bermakna Kota Rasulullah”.
Perubahan nama kota itu tidak semata bersifat formalistas semata, melainkan sebuah penegasan untuk mewujudkan sebuah sistem masyarakat yang beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian.
Bersama umat agama lain dan suku-suku Arab di Madinah, Nabi membuat konsensus bersama bernama Piagam Madinah (Mitsaq Al-Madinah) untuk menegaskan persamaan kemanusiaan, menghargai perbedaan dan menebar perdamaian.
Itulah misi hijrah yang ditekankan Nabi, yaitu mengubah suatu struktur tatanan masyarakat yang tidak adil dan otoriter (jahiliyah), menuju kesepakatan bersama dan demokratis (islamiyah). Nabi juga merombak sistem perekonomian yang timpang dikuasasi oleh segelintir orang (konglomerat) menuju perekonomian yang berpihak pada ummat yakni, ekonomi keummatan.
Yang tak kalah penting, Nabi membangun masyarakat madani yang amat menghargai perbedaan di kalangan masyarakat Arab.
Dalam konteks apa pun, hikmah dan spirit hijrah Nabi itu sesungguhnya bisa kita terapkan kapan pun dan di mana pun.
Dalam konteks pribadi misalnya, hijrah bisa digunakan sebagai arahan untuk memperbaiki diri dari segala sikap dan perilaku yang selama ini keliru untuk menjadi individu yang memperbaiki diri dan membawa manfaat. Yang pada gilirannya tentu akan berdampak pada tatanan masyarakat.
Hijrah yang dilakukan untuk koteks sekarang adalah bagaimana membangun semangat hal positif di masyarakat. Dari saling curiga akibat perbedaan pandangan politik menjadi saling percaya dan membangun kerjasama.
Bahkan bulan Muharam adalah salah satu bulan dari empat bulan haram (Zdulqa’dah, Dzulhijjah, Muaharam dan Rajab) bulan dilarang melakukan peperangan. Maka di bulan Muharam hendaknya kita semua menyebarluaskan semangat perdamaian. Tidak ada lagi penindasan terhadap etnis lain, seperti di Myanmar.
Tidak ada ruang untuk saling menyebar fitnah kepada lawan politik hanya untuk meraih kekuasaan dan memenangi persaingan Pilkada. Semangat persaudaraan sebangsa juga sangat dibutuhkan guna membangun Indonesia yang memang ditakdirkan Allah mempunyai beragam etnis, agama, suku dan ras.
Hal ini bukan berarti menjadi sumber perpecahan tetapi ini harus dijadikan sumber berkah agar kita semua bisa saling mengenal (ta’arofu). Seperti pesan firman Allah dalam surat Al Hujarat (49) ayat 13, Wahai manusia sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu beerbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di anatara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”.
Konsep hijrah Nabi Muhammad SAWdi masa lalu sesungguhnya mengandung ibrah (pelajaran berharga) bahwa selayaknya kita memaknai hijrah dalam bingkai perdamaian. Ajaran-ajaran Islam harus kita maknai sebagai ajaran yang transformatif sehingga kita terus mengupayakan perdamaian terwujud dalam kehidupan.
Semangat hijrah selayaknya membuat pribadi-pribadi dapat menghindari perilaku buruk jahiliyah, semisal menebar kebencian kepada pihak lain.
Kejadian di Surabaya yang berimbas ke Papua, adalah kekurangpahaman esensi hijrah. Bagaimana seharusnya penduduk asli dapat berdampingan dengan pendatang seperti kaum Anshar dan Muhajirin.
Konteks jaman serba digital, maka sepatutnya menggunakan perubahan teknologi dan perkembangan penyebaran informasi disikapi dengan bijak. Informasi yang didapat disaring dengan rasional. Berita hoax di-tabayun-kan seperti yang diteladankan Rasul. (Q.S. Al Hujurat: 6)
Jika mendamaikan orang yang berselisih karena penyebaran informasi hoax merupakan bentuk dari sedekah, maka seharusnya hal tersebut menjadi spirit pada diri kita untuk berlomba-lomba menjadi pelopor untuk mendamaikan dengan menyebarkan informasi yang menyejukan susana.
Damai tidak hanya terbatas pada seruan formal birokratis. Di era Modern saat ini, damai sudah sepatutnya menjadi lifestyle dan kebutuhan hidup sehari-hari.
Dengan gaya hidup ini, niscaya kita akan merasakan betapa nikmat kehiduan jika dipenuhi dengan semangat kebersamaan, persaudaraan, kedamaian. Energi yang terpancar adalah saling menghargai, membantu dan menebar kasih sayang terhadap sesama.
Karenanya, Sebaik-baiknya hijrah adalah menebarkan perdamaian. Wa allahu a’lam. [***]
http://www.rmolbanten.com/read/2019/08/26/10956/Hijrah-Dan-Semangat-Perdamaian-
Dedi Sutendi, S.Th.I
Lembaga Kajian Syahmi Center
Komentar
Posting Komentar