Guru dan Nilai-Nilai Pancasila
Kita jadi bisa
menulis dan membaca karena siapa
Kita jadi tahu
beraneka bidang ilmu dari siapa
Kita jadi
pintar dibimbing pak guru
Kita bisa
pandai dibimbing bu guru
Gurulah pelita
penerang dalam gulita
Jasamu tiada
tara
Semoga bait lagu tersebut masih banyak yang ingat dan hafal.
Mengena banget jika direnungi perkata dari liriknya. Lagu tersebut ketika tahun
1990an sering diputar di stasiun televisi. Sehingga generasi tersebut sangat
mungkin masih hafal.
Tujuan Menjadi Guru
Bahagialah siapa saja yang ditaqdirkan menjadi guru, mengajar
dengan benar dan ikhlas. Tidak semua guru mendapatkan pahala yang mengalir di
kubur nanti. Kata kunci amal yang bisa bermanfaat ada dua, yaitu niat hanya
karena Allah, dan caranya benar (Q.S 51:56, 67:2). Yang penting dari guru
adalah niatnya. Guru berniat sungguh-sungguh ingin membantu agar anak didiknya
dapat ilmu, lebih sukses, bahagia, lebih beriman, beramal, punya akhlak mulia. Kesuksesan
guru bukan ketika pujian datang kepadanya, tetapi kesuksesan guru adalah ketika
yang diajarnya bisa lebih sukes dari dirinya. Menjadikan muridnya bisa lebih
baik dari dirinya. Maka hati, lahir-bathin, pikiran memberikan yang terbaik. Begitu
juga sebagai pemimpin, Pemimpin yang baik dan sukses adalah pemimpin yang dapat
melahirkan pemimpin-pemimpin yang baik lainnya. Kesuksesan orang tua adalah
yang bisa mengantarkan anaknya bisa lebih baik dari dirinya. Ketika kita saat
ini dipuji orang atas apa yang ada, sesungguhnya itu adalah buah dari
orang-orang yang telah memberikan warna kehidupan, yaitu para guru dan orang
tua.
Guru ada yang bilang singkatan dari digugu dan ditiru. Artinya dipatuhi
dan ditauladani. Kekuatan seorang guru adalah ada kesamaan perkataan, perbuatan
dan hati (Q.S 61: 2). Ketika ada kesamaan tersebut, maka guru akan mempunyai
energi, anak didik akan melihat, mendengar dan merasakannya dengan penuh
antusias.
Hati yang penuh kasih sayang dan ketulusan seorang guru akan
dirasakan berbeda oleh anak didik. Guru seperti ini akan terpancar dari wajah,
tutur kata dan sikapnya. Jika kita
berani jujur terhadap diri, maka kita sepakat bahwa tugas menjadi guru tidak
mudah. Pertama, ia punya kewajiban menyampaikan ilmu yang bermanfaat
kepada anak didiknya. Kedua, ia mempunyai tanggungjawab mencari cara
bagaimana anak didiknya dapat menerima dan memahami apa yang diajarakan. Ketiga,
guru harus tetap menjaga perasaan dan pikiran bila ada anak didiknya belum
dapat memahami ilmu tersebut. Jika tidak dilandasi dengan kasih sayang dan ketulusan, mustahil akan lahir
generasi yang baik karya dari buah perjuangan guru.
Guru Mengajar dan mendidik
“Education is not reparation for life; education is life itself
(John Dewey) –Pendidikan bukanlah persiapan untuk
menghadapi kehidupan, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Maka tugas guru bukan sekedar mengajar namun
yang lebih penting adalah mendidik. Pendidikan merupakan bagian terpenting dari
kehidupan manusia. Hewan juga belajar, tetap hanya mengandalkan insting. Manusia
belajar untuk menuju level yang lebih mulia dan berarti.
Mengajar berarti menyerahkan atau manyampaikan ilmu
pengetahuan atau keterampilan dan lain sebagainya kepada orang lain, dengan
menggunakan cara – cara tertentu sehingga ilmu – ilmu tersebut bisa menjadi
milik orang lain. Dengan kata lain mengajar adalah proses mentransfer ilmu
dengan berbagai cara agar orang lain dapat memiliki atau menguasai ilmu yang
diberikan.
Sedangkan mendidik tidak hanya cukup dengan hanya
memberikan ilmu pengetahuan ataupun keterampilan, melainkan juga harus
ditanamkan pada anak didik nilai – nilai dan norma – norma susila yang tinggi
dan luhur. Maka tujuan pendidikan di Indonesia sesuai Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan
nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Guna terwujudnya
tujuan tersebut, guru mempunyai tanggungjawab yang besar. Jika gagal maka boleh
jadi negara akan mengalami kemunduran – jika tidak dikatakan hancur akhlak. Peran
semua pihak membantu peran guru agar terlahir generasi bangsa yang tidak hanya
pandai dalam hal pengetahuan tetapi juga mempunyai kepribadian, dan lebih
terpenting adalah keimanan dan ketaqwaan.
Para pengambil
kebijakan harus mempertimbangkan aspek-aspek pendidikan, melihat dampaknya
untuk generasi mendatang. Bukan hanya untuk kepentingan sesaat, apalagi hanya
untuk menguntungkan kelompok dan mempertahankan kekusaannya.
Menanamkan
Nilai-nilai Pancasila
Sebagai dasar negara maka Pancasila wajib dijadikan rujukan dalam
mendidik. Kita lihat dari Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini adalah
amanah luar biasa dari para pendiri bangsa. Bahwa setiap langkah anak bangsa
harus berdasar kepada aspek Ketuhanan. Mulai
dari Pemimpin yang paling tinggi sampai rakyat biasa. Penanaman keyakinan
berketuhanan ini hanya bisa dilakukan melalui pendidikan yang kuat, tentunya hanya
guru yang mempunyai ruhaniah. Guru dengan keyakinan berketuhanan akan
senantiasa merasa diawasi ketika akan mendidik, walau tidak ada Kepala sekolah
sekali pun. Guru berkewajiban setiap memberikan materi pembelajaran dapat
disisipkan dan dikaitkan dengan nilai-nilai Ketuhanan. Dengan demikian Indonesia akan jauh dari
ideologi yang anti Tuhan.
Kedua adalah nilai kemanusiaan. Maka proses pembelajaran
senantiasa mengedepankan nilai humanis. Siswa dididik untuk bisa menghargai
perbedan tanpa harus meniadakan. Menghormati hak asasi manusia; hak
berpendapat, berkumpul, bahkan beragama. Sisi humanis dengan sikap toleran
terhadap sesama anak bangsa walau berbeda agama. Agama tidak dijadikan amunisi
untuk melecehkan, menghinakan dan menyingkirkan kelompok yang berbeda.
Ketiga, semangat Persatuan. Maka guru berkewajiban mendidik siswa
dengan landasan Ketuhanan dan semangat Kemanusiaan guna mempertahankan kesatuan
dan persatuan bangsa. Perbedaan cara pandang dalam hal berpoltik tidak serta
merta menjadikan negara ini menjadi terpecah. Perbedaan bukan permusuhan. Perbedaan
bukan menjadi saling memfitnah dan menyerang. Perbedaan sunatullah dan rahmat
bagi semua (Q.S. 49: 13). Perbedaan adalah anugrah Tuhan yang patut disyukuri.
Keempat adalah semangat bermusyawarah. Pendidikan sejak dini harus diajarkan bahwa tidak semua
masalah yang timbul harus diselesaikan dengan cara kekerasan, hukum legal
formal. Kita punya tradisi dari para pendiri bangsa, yaitu bermusyawarah. Perbedaan
yang ada jika dikedepankan musyawarah sebagai solusi maka tercipta adalah
kedamaian.
Kelima adalah tegaknya keadilan. Semangat menegakan keadilan ini
penting bagi generasi bangsa. Terutama generasi milenial. Sulit kita berharap
kedamaian dan ketertiban akan terwujud jika keadilah tidak ditegakan. Generasi muda
akan melihat contoh apa yang ada di level atas kepemimpinan. Hukum tidak boleh
tebang pilih, seperti pisau, tajam ke bawah, tumpul ke atas. Biingkai keadilan
untuk semua bisa terwujud jika para penegak hukum mempunyai integritas tinggi,
mempunyai nilai Ketuhanan (merasa diawasi Tuhan/Konsep Ihsan), rakyat dan
pemerintah mengedepankan sisi kemanusiaan dan semangat persatuan. Hukum tidak
bijak ketika hanya tegak kepada yang berbeda pandangan dengannya atau
berlandsakan atas ketidaksukaan terhadap kelompak lain. (Q.S. 5:8)
Guru berperan menanamkan kelima nilai tersebut setiap saat kepada
anak didik. Maka tugas bersama adalah mempertahankannya. Jika ada pihak
beritikad buruk akan memeras lima sila menjadi tiga apalagi dijadikan hanya
satu sila, ini rencana jahat yang bisa menjauhkan generasi bangsa dari tujuan
pendidikan nasional tadi. Selamat Hari Guru, Selamat Berjuang Mempertahankan
dan meperjuangkan Kebaikan dengan penuh Ketulusan dan kasih sayang. Guru engkau
pelita di tengah kegelapan. Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar